Bergabung Menjalin Persaudaraan

Dunia Sekolah

Senin, 05 November 2012

UKA dan Mutu Guru Indonesia

Hasil Uji Kompetensu Awal (UKA) yang dilaksanakan Kemdikbud pada Februari 2012 menunjukkan nilai terendah 1,0 dan tertinggi 97,0.

Berikut gambaran kompetensi guru kita berdasarkan nilai UKA secara nasional, mulai jenjang guru TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB berdasarkan artikel  UKA dan Mutu Guru Kita yang ditulis oleh Prof. Suyanto, Ph.D.



Jenjang
Peserta
Nilai Tertinggi
Nilai Terendah
Nilai Rerata
Umum
281.016
97,0
1,0 (1 TK,1 SMP)
42,25
TK
23.753
90,0 (1 orang)
1,0 (1 orang)
58,87
SD
164.539
80,0 (1 orang)
3,0 (1 orang)
36,86
SMP
51.238
87,5 (1 orang)
1,0 (1 orang)
46,15
SMA
18.125
90,0 (2 orang)
11 (1 orang)
51,35
SMK
15.105
97,0 (1 orang)
4,0 (4 orang)
50,02
SLB
2.446
95,0 (1 orang)
13,0 (1 orang)
49.07


Berikut artikel selengkapnya UKA dan Mutu Guru Kita yang ditulis oleh Prof. Suyanto, Ph.D.Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta/Plt. Dirjen Pendidikan Dasar, Kemdikbud.


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan baru saja menyelenggarakan uji kompetensi awal (UKA) terhadap guru-guru kita yang akan memasuki proses sertifikasi. Tujuan utama UKA sangat jelas dan masuk akal sekali, dan dengan demikian valid, yaitu: untuk melakukan (1) pemetaan kompetensi guru pada
berbagai jenjang dan jenis pendidikan; (2) seleksi kelayakan guru untuk memasuki proses sertifikasi, dan (3) membuat acuan bagi program pendidikan dan latihan bagi para calon guru dan guru di masa kini dan mendatang.
Keputusan Kemdikbud untuk melaksanakan UKA sungguh sangat tepat meskipun ada kelompok masyarkat tertentu yang kurang dan tidak setuju. Hal itu sangat wajar dan bisa dipahami. Mengapa demikian? Karena setiap inovasi dilakukan, di sektor manapun juga, selalu saja ada kelompok- kelompok orang yang masuk
dalam kategori late adaptor dan bahkan juga selalu saja ada kelompok yang menolak. Adalah Everett Rogers, seorang ilmuwan dan peneliti amat terkenal yang telah berhasil meneliti persoalan tetek bengek defusi inovasi. Dalam bukunya Diffusion of Innovations, dijelaskan memang ada enam karakteristik
intrinsik yang sangat berpengaruh terhadap keputusan seseorang dan/atau bahkan kelompok orang dalam masyarakat, apakah mereka bisa mengadopsi (menerima) atau bahkan menolaknya sama sekali terhadap suatu inovasi. Apa gerangan enam karakteristik intrinsik itu? Keenam karakteristik yang berpengaruh itu meliputi: relative advantage; compatibility; complexity or simplicity; trialability; dan observability.

Oleh karena itu, bisa jadi, kelompok yang tidak setuju atau bahkan telah mengatakan menolak UKA, sesuai dengan teori defusi inovasinya Rogers, adalah mereka yang belum atau tidak mampu melihat dan mempersepsikan bahwa uji kompetensi itu memiliki keuntungan relatif bagi proses peningkatan profesionalisme guru, masih kompatibel dengan apa yang selama ini para guru lakukan dalam uji-menguji di sekolah masing masing, sederhana karena yang diuji adalah kompetensi akademik keseharian ketika guru mengajar di kelas, bisa dicoba sendiri atau dipelajari dengan kelompok kerja guru yang ada, dan sungguh amat bisa diamati, karena uji kompetensi itu bahannya bisa diprediksi dengan cara melatih diri sebelum uji kompetensi dilakukan. Itulah sebabnya, dalam setiap inovasi, Rogers telah memetakan adanya lima tahapan kemungkinan terjadinya adopsi, yaitu: knowledge; persuasion, decision, implementation, dan conformation. 



Kita bersyukur karena Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah selesai melakukan UKA dengan gemilang. Persoalan berikutnya ialah bagaimana kementerian memasuki tahap pemanfaat hasilnya secara efektif sehingga pada akhirnya UKA akan membawa kemaslahatan bagi peningkatan profesionalisme guru dan juga berguna bagi semua stakeholder pendidikan, tua muda, pria wanita, baik yang berpolitik maupun tidak.

Hasil UKA?

Tahun 2012 ini UKA telah dilaksanakan pada bulan Februari lalu di seluruh propinsi, dan diikuti oleh 281.016 guru SD, SMP, SMA, dan SMK dari yang telah mendaftar sejumlah 285.884 orang. Jumlah peserta UKA ini amat besar, sehingga hasilnya bisa digunakan untuk kepentingan penilitian lanjut terkait kompetensi akademik guru di berbagai bidang mata ajar mereka. Karena jumlah pesertanya yang besar itu, data terkait hasil UKA dapat dimanfaatkan lebih lanjut untuk melakukan berbagai analisis inferensial dengan nilai-nilai statistik yang pasti signifikan dengan confident interval yang tinggi dan robust. Oleh karena itu data UKA ini bisa digunakan untuk kepentingan penelitian ilmiah bagi semua perguruan tinggi, terutama bagi perguruan tinggi yang memiliki mandat untuk memroses pendidikan dan pelatihan guru dan calon guru. Tidak saja untk kepentingan skripsi S1, tetapi data UKA akan sangat berguna bagi kepentingan tesis S2, dan disertasi S3 di perguruan tinggi kita. Kalau saja data UKA ini bisa dikomunikasikan dengan perguruan tinggi, sungguh amat memudahkan para mahasiswa kita dalam melakukan penilitian tugas akhir mereka. Ibarat sambil menyelam minum air, penyelenggaraan UKA memang banyak manfaatnya baik bagi kepentingan peningkatan profesionalisme guru, maupun bagi pengembangan penelitian terapan terkait dengan beragam variabel yang bisa digunakan untuk menjelaskan tinggi rendahnya kompetensi guru.

Bagaimana hasil UKA? Secara nasional nilai UKA bagi guru tanpa melihat bidang studi dan jenjang pendidikan memiliki nilai tertinggi 97,0 dan nilai terendah adalah 1,0 dengan nilai rerata (mean) sebesar 42,25 dan standar deviasi 42,25. Inilah yang mengejutkan bagi kita. Dari nilai maksimal 100, guru kita rata-rata secara anasional hanya mampu mencapai nilai 42,50. Ini berarti guru kita kompetensinya masih rendah. Di samping itu, yang membuat kita masygul ialah adanya nilai 1,0 di antara para guru kita, meskipun hanya seorang masing-masing di jenjang pendidikan TK dan SMP. Potret nilai uji kompetensi guru kita secara nasional jika kita ambil nilai ekstrimnya, terendah dan tertinggi, untuk masing-masing jenjang pendidikan adalah sebagai berikut: untuk guru TK, dengan peserta 23.753 memiliki rerata 58, 87; dengan nilai minimum 1,0 (seorang) dan nilai tertinggi 90,0 (seorang); untuk guru SD yang ikut UKA sebanyak 164.539 mencapai nilai rerata nasional 36,86, nilai terendah 3,0 (seorang), dan nilai tertinggi 80,0 (seorang). Bagaimana dengan guru SMP? Untuk guru SMP, peserta UKA sebanyak 51.238 orang dengan rerata nilai nasional 46,15, nilai terendah adalah 1,0 (seorang), dan nilai maksimumnya 87,5 (seorang); selanjutnya, untuk guru SMA, dengan jumlah peserta 18.125 orang memiliki statistik nilai rerata nasional 51,35, dengan nilai terendah 11 (seorang), dan nilai tertinggi 90,0 (dua orang). Kemudian untuk guru SMK jumlah peserta UKA 15.105 orang dengan capaian rerata nasional 50,02, nilai minimal 4,0 (empat orang) dan nilai tertinggi 97,0 (seorang). Akhirnya, guru kita yang bekerja di sekolah luar biasa (SLB) mengikuti UKA sebanyak 2.446 orang, memiliki nilai rerata nasisonal 49,07 dengan nilai minimum 13,0 (seorang) dan nilai tertinggi 95,0 (hanya seorang juga).

Dari data sederhana di atas ternyata guru SMK relatif lebih baik kompetensinya jika dibandingkan dengan guru jenjang pendidikan lainnya. Meskipun demikian, secara umum kompetensi guru kita untuk semua jenjang pendidikan memang belum berada pada penguasaan kompetensi yang ideal. Rerata nilai secara nasional masih berada pada nilai tengah skala skor UKA. Hal ini berarti guru memang harus tetap mendapatkan inservice training secara teratur, tersistem, dan berkesinambungan seperti layaknya profesi dokter. Sebagian besar guru kita sejak menamatkan pendidikannya di perguruan tinggi tidak pernah mendapatkan berbagai macam pelatihan dan penataran. Akibatnya penguasaan kompetensinya bisa diduga rendah, dan terbukti rendah sesuai dengan hasil UKA. Lain halnya seperti profesi  guru di Singapore, misalnya. Di negara kecil itu guru selalu mendapatkan hak untuk mengikuti inservice training paling tidak 30 jam setiap tahun.

Baca selengkapnya di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penulis komentar harus mencantumkan nama dengan jelas!